MAKALAH
METODE STUDI ISLAM
TENTANG METODOLOGI
MEMAHAMI ISLAM
Dosen Pengampu :
M. Azhari, S.S., M.Pd.
Di Susun Oleh :
Kelompok VIII
1. Fajar Maysyaroh NPM : 180511532
2. Sari Wahyuni NPM
: 180511525
3. Bambang Ardiansyah NPM : 180511554
FAKULTAS AGAMA
ISLAM
UNIVERSITAS KUTAI
KARTANEGARA 2019
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah
SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya kita semua masih diberikan kesempatan
dalam menjalankan aktifitas kita
sehari-hari. Salawat serta salam semoga senantiasa kita panjatkan kepada
baginda kita Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan umatnya yang senatiasa
istiqomah hingga akhir zaman nanti.
Pada kesempatan ini tak lupa kami ucapkan terima kasih atas
bimbingan dosen kami yaitu: Bapak M.
Azhari, S.S., M.Pd. yang telah membimbing kami dalam penulisan makalah yang
bertema “Metodologi Memahami Islam” sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Kami menyadari dalam penulisan makalah ini banyak
kekurangan dan kesalahan, hal itu dikarenakan kurangnya wawasan dan referensi
yang kami miliki, oleh karana itu kami mengharapkan sekali kritik dan saran
baik dari dosen mata kuliah Metode Studi
Islam maupun dari rekan-rekan seperjuangan.
Demikian sebagian pengantar dari kami sebagai pemakalah
dan mudah-mudahan yang terdapat dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.
Tenggarong, 13 September 2019
Kelompok VIII
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................ i
DAFTAR ISI ............................................................................................ ii
BAB I
PENDAHULUAN ...................................................................... 1
A. Latar
Belakang ................................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah ............................................................................... 2
C. Tujuan
Makalah .................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................
3
A. Pengertian Metodologi.........................................................................
3
B. Kegunaan Metodologi ......................................................................... 3
C.
Studi Islam .......................................................................................... 6
D.
Metode Memahami Islam .................................................................... 7
BAB III
PENUTUP ................................................................................ 17
A. Kesimpulan .......................................................................................... 17
B. Saran .................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 19
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Islam merupakan agama yang sangat kompleks.
Sehingga dalam memahaminya pun dibutuhkan cara yang tepat agar dapat tercapai
suatu pemahaman yang utuh mengenai agama Islam. Sejak Islam masuk di Indonesia pertama kali sampai saat
ini telah timbul berbagai macam pemahaman yang berbeda mengenai islam. Sehingga
dibutuhkanlah penguasaan tentang cara-cara yang digunakan dalam memahami ajaran
Islam.
Maka tugas kita adalah berusaha secara sungguh sungguh
memahami kedua sumber pokok ajaran islam itu. Jika kita sudah pahami dengan
baik maka akan terasa sekali bahwa kitab Al-Quran dan Al-Sunnah itu betul-betul
penuntun jalan kehidupan yang terbaik. Demikian itulah yang oleh nabi Muhammmad
saw pernah
dinyatakan bahwa “Kutinggalkan untuk kamu
dua pusaka, tidaklah kamu akan tersesat selama-lamanya, selama kamu masih
berpegang kepada keduanya, yaitu kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya”.
الْÙŠَÙˆْÙ…َ Ø£َÙƒْÙ…َÙ„ْتُ Ù„َÙƒُÙ…ْ دِينَÙƒُÙ…ْ ÙˆَØ£َتْÙ…َÙ…ْتُ عَÙ„َÙŠْÙƒُÙ…ْ Ù†ِعْÙ…َتِÙŠ
Ùˆَرَضِيتُ Ù„َÙƒُÙ…ُ الْØ¥ِسْÙ„َامَ دِينًا ۚ
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk
kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai
Islam itu jadi agama bagimu".
Dalam rangka mencapai suatu
intepretasi yang tepat dalam memahami agama dengan segala aspek yang terkandung
di dalamnya diperlukan metode-metode yang dapat dipergunakan untuk mendapat
pemahaman yang tepat. Islam yang diturunkan di Arab lahir dan berkembang
seiring dengan adat budaya Arab.
Hal ini memerlukan
pengkajian yang komprehensif sebab sumber agama Islam yakni Al Qur’an dan Sunah
berbahasa Arab. Sehingga untuk memahaminya wajib untuk memahami bahasa Arab.
Berdasasarkan uraian di atas, penulis bermaksud untuk menyusun sebuah makalah
dengan judul “ Metodologi Pemahaman Islam.”[1]
B. RUMUSAN
MASALAH
1.
Pengertian Metodologi?
2.
Kegunaan Metodologi?
3. Apa
itu Studi Islam?
4.
Metode Memahami Islam?
C. TUJUAN
MAKALAH
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka makalah ini dibuat untuk
mengetahui metode-metode dalam memahami islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Metodologi
Dalam membahas metodologi
pemahaman islam kita harus memahami pengertian “metodologi” itu sendiri. Secara
harfiah, kata “metodologi” berasal dari bahasa Greek, yakni “metha” yang
berarti melalui dan “hodos” berarti jalan atau cara. Sedangkan “logos” berarti
ilmu pengetahuan yang membahas tentang cara atau jalan yang harus dilalui .
Jadi metodologi pemahaman islam adalah ilmu yang membicarakan cara - cara
memahami islam secara efektif dan efisien.
Dalam rangka mencapai
suatu intepretasi yang tepat dalam memahami agama dengan segala aspek yang
terkandung di dalamnya diperlukan metode-metode yang dapat dipergunakan untuk
mendapat pemahaman yang tepat. Menjawab berbagai masalah yang dihadapi saat
ini, diperlukan metode yang dapat menghasilkan pemahaman islam yang utuh dan komprehensif.
Dalam hubungan ini Mukti Ali pernah mengatakan bahwa metodologi adalah masalah
yang sangat penting dalam sejarah pertumbuhan ilmu.[2]
B. Kegunaan Metodologi
Mengawali pembahasan
materi ini, terdapat beberapa contoh pemahaman keislaman yang dimiliki oleh
umat Islam. Misalnya, kita melihat adanya sejumlah orang yang pengetahuan
tentang keislamannnya cukup luas dan mendalam, namun tidak terkoordinasi dan
tidak tersusun secara sistematik. Hal itu, di sebabkan oleh ketika orang
tersebut menerima ajaran Islam, tidak sistematik dan terorganisasikan dengan
baik. Biasanya, mereka belajar ilmu keislaman secara otodidak, atau kepada
berbagai guru yang antara satu dengan yang lainnya tidak pernah saling bertemu
dan tidak pula berada dalam satu acuan yang sama semacam kurikulum. Akibatnya,
yang bersangkutan tidak dapat melihat hubungan yang terdapat dalam berbagai
ilmu pengetahuan tentang Islam.[3]
Contoh lain, kita
melihat ada orang yang penguasaan salah satu ilmu keislaman yang cukup
mendalam, tetapi kurang memahami disiplin ilmu keislaman lainnya. Bahkan,
pengetahuan yamng bukan keahliannya dianggap sebagai ilmu yang kelasnya di bawah
ilmu keislaman lainnya. Bahkan akan, pengetahuan yang bukan keahliannya
dianggap sebgai ilmu yang kelasnya di bawah ilmu yang mempelajarinya. Ilmu
fikih misalnya, pernah menjadi primadona dan mendapat perhatian yang cukup
besar. Akibatnya segala masalah yang di tanyakan selalu dilihat dari paradigma
fikih. Pada tahap berikutnya, pernah teologi dianggap sebagai primadona dan
mendapat perhatian yang cukup besar di kalangan masyarakat sehingga setiap
masalh yang dihadapi selalu dillihat berdasarkan paradigma teologi. Setelah
itu, muncul pula paham keislaman yang bercorak tasawuf yang terkesan kurang
menyeimbangkan antara kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat. Daam tasawuf,
kehidupan dunia terkean di abaikan. Umat terlalu mementingkan akhirat,
sedangkan urusan dunia menjadi terbengkalai. Akibatnya, keadaan umat menjadi
mudur dalam bidsang keduniaan, materi, dan, fasilitas hidup lainnya.[4]
Berdasarkan beberapa
contoh tentang pemahaman keislaman di atas, dapat di peroleh kesan bahwahingga
saat ini pemahaman tentang keislaman di masyarakat masih bercorak parsial,
belum utuh dan komprehensif. Sekalipun, sudah ada sebagian tokoh reformis yang
telah mencoba mengadakan pemahaman keislaman secara utuh dan komprehensif.
Seperti, yang telah dilakuakn oileh Muhammad Abduh (pembaru dari Mesir),
Muhammad Iqbal dan Fazlur Rahman yang keduanya berasal dari Pakistan, serta
Harun Nasution da Nurcholis Madjid (keduanya reformis yang berasal dari
Indonesia).[5]
Pemikiran dan paham
keislaman yang di kemukakan oleh para reformis tersebut dapat di jumpai lewat
berbagai karya tulis mereka. Untuk kepentingan akademis dan untuk membuat Islam
lebih responsif dan fungsional. Dalam
memandu perjalanan umat serta menjawab masalah-masalah yang dihadapan oleh Isam
saat ini, diperlukan metode yang dapat menghasilkan pemahaman Islam yang utuh
dan komprehensif.[6]
Dalam hubungan ini,
Mukti Ali pernah mengatakan bahwa metodologi adalah masalah yang sangat penting
dalam sejarah pertumbnuhan ilmu. Oleh karena itu, metode memiliki peranan yang
sangat penting dalam kemajuan dan kemunduran untuk memahami Islam. Demikian
pentingnya metode tersebut, Mukti Ali menfatakan bahwa yang menentukan dan
membawa stagnasi (tidak mengalami kemajuan), kebodohan, atau kemajuan, bukan
karena ada atau tidaknya orang yang
jenius, melainkan karena metode dan cara melihat sesuatu.
Sebagai contoh, pada
abad ke-14 sampai ke-16 Masehi, Aristoteles (384-322 SM) orang jenius mlebihi
dari Francis Bacon, Plato lebih jenius dar Roger Bacon. Mengapa kedua orang
Bacon itu menjadi salah satu faktor dalam kemajuan sains, sekalipung orang
tersebut jauh lebih rendah kejeniusannya dibandingkan Plato dan Aristoteles,
tetapi justru membawa kemajuan-kemajuan ilmiah dan kebangkitan. Sedangkan kedua
orang jeius tersebut tidak mampu membawa Eropa ke arah kemajuan, justru
sebaliknya, kedua orang tersebut membuat stagnasi dan kebodohan di dunia.
Contoh lain dari
orang-orang biasa yang telah menghasilkan karya besarnya, di antaranya Thomas
Alfa Edison, seorang warga berkebangsaan Amerika yang menemukan telepon,
telegra, listrik, bioskp bersuara, kereta api listrik dan masih banyak lagi.
padahal menurut persepsi umum, kejeniusannya lebih rendah dibandingkan dengan
Aristoteles. Tetapi dalam waku yang sama, Thomas Alfs Edison dapt emberian
saham untuk mengenal alam dan menciptakan industri lenh dari orang-orang jenius
yang terlatih. Mukti Ali menjawab semua persoalan di[7] atas,
di atas karena orang biasa tersebut dapat menemukan metode berpikir yang benar
dan tepat.
Beberapa contoh di
atas, bukan bermaksud untuk melecehkan orang-orang jenius. Melainkan
mempertegas bahwa untuk mencapai kemajuan kejeniuisan saja belum cukup jia
tidak di lengkapi dengan ketepatan memilih metode yang akan digunakan dalam
bidang ilmu pengetahuan. Metode yang tepat adalah masalah pertama yang harus
diusahkan dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Kemamuan dalam menguasai
materi keilmuan tertentu, perlu diimbangi dengan kemampuan di bidang metodologi
sehingga pengetahuan yang dimilikinya dapat dikembangkan.[8]
Berdasarkan uraian di
atas, dapat dinyataklan bahwa keguanaan metodologi adalah untuik membantu
seseorang dalam mengembangkan keilmuan yang dimilikinya dan mengadakan
pemahaman keislaman, secara utuh dan komprehensif.
C. Studi Islam
Dikalangan para ahli
masih terdapat perdebatan di sekitar permasalahn apakah studi Islam (agama)
dapat dimasukkan ke dalam bidang ilmu pengetahuan, mengingat sifat dan
karakteristik antara imlu pengetahuan dan agam berbeda. Pembahasan di sekitar
permasalahan ini banyak dikemukakan oleh para pemikir Islam belakangan ini.
Amin Abdullah, misalnya mengatakan jika penyelenggaraan dan penyampaian Islamic Islamiyah hanya mendengarkan
dakwah keagamaan di dalam kelas, lalu apa bedanya dengan kegiatan pengajian dan
dakwah yang sudah ramai diselenggarakan di luar bangku kuliah? Meresp[oni
sinyalemen tersebut, menurut Amin Abdullah, pangkal otak kesulitan pengembangan
scope wilayah kajian Islamic Studies atau Dirasah Islamiyah berakar pada kesukaran
seorang agamawan untuk membedakan antara yang normativitas dan historitisitas.
Pada dataran normativitas kelihatan Islam kurang pas untuk dikatakan sebagai
disiplin ilmu, sedangkan untuk datran historisitas tampaknya tidaklah salah. [9]
Pada dataran
normatvitas studi Islam agaknya masih banyak terbebani oleh misi kegamaan yang
bersifat memihak, romantis, dan apologis, sehingga kadar muatan analsis,
kritis, metoologis, historis, empiris, terutama dalam menelaah teks-teks tau
naskah-naskah keagamaan produk sejarah terdahului kurang begitu ditonjolkan ,
keuali dalam lingkungan para peneliti tertentu yang masih sangat terbatas.
Dengan demikian
secara sederhana dapat ditemukan jawabannya bahwa dilihat dari segi normatif
sebagaimana yang terdapat dalam Alquran dan hadis, maka Islam lebih merupakan
agama yang tidak dapat diberlakukan kepadanya paradigma ilmu pengetahuan, yaitu paradigmaanalitis,
kritis, metodologis, historis, dan empiris. Sebagai agama, Islam lebih memihak,
romantis, apologis, an subjektif, sedangkan jika dilihat dari segi historis,
yakni Islam dalam arti yang di praktikkan oleh manusia serta tumkbuh dan
berkembang dalam sejarah kehidupan manusia, maka Islam dapat dikatakan sebgai
sebuah disiplin ilmu, yakni Keislaman atau Islam
Studies.[10]
Perbedaan dalam
melihat Islam yang demuikian itu dapat menimbulkan perbedaan dalam menjelaskan
Islam itu sendiri. Ketika Islam dilihat dari sudut normatif, Islam merupakan
agama yang didalamnya berisi ajaran Tuhan yang berkaitan dengan urusan akidah
dan muamalah. Sedangkan ketika Islam
dilihat dari sudut historis atau sebagaimana yan tampak dalam masyarakat, Islam
tampil sebgai sebuah disiplin ilmu
(Islamic Studies).
Selanjutnya, studi
Islam sebagaiman dikemukakan di atas berbeda pula dengan apa yang disebut
sebagi sains Islam. Sains Islam
sebagaimana dikemukakan Hussein Nasr adalah sains
yang dikembangkan olehkamu Muslimin sejak abad Islam kedua, yang keadaannya
sudah tentu merupakan salah satu pencapaian besar dalam peradaban Islam. Selam
kurang lebih tujuh ratus tahun, sejak abad kedua hingga keembilan Masehi,
peradaban Islam mungkin merupakan peradaban mana pun di wilayah sains, dan sains Islam berada pada garda depan dalam berbagai legiatan, mulai
dari kedokteran sampai astronomi. [11]
D. Metode Memahami Islam
Dalam buku berjudul Tentang
Sosiologi Islam, karya Ali Syari’ati, dijumpai uraian singkat mengenai metode
memahami yang pada intinya Islam harus dilihat dari berbagai dimensi. Dalam
hubungan ini, ia mengatakan jika kita meninjau Islam dari satut sudut pandangan
saja, maka yang akan terlihat hanya satu dimensi saja dari gejalanya yang
bersegi banyak. Mungkin kita berhasil melihatnya secara tepat, namun tidak
cukup bila kita ingin memahaminya secara keseluruhan. Buktinya ialah Alquran
sendiri. Kitab ini memiliki banyak dimensi, sebagianya telah dipelajari oleh
sarjana-sarjana besar sepanjang sejarah. Satu dimensi, misalnya, mengandung aspek-aspek linguistic dan sastra
Alquran. Para sarjana sastra telah mempelajarinya secara terperinci. Dimensi
lain terdiri atas tema-tema filosofis dan keimanan Alquran yang menjadi bahan
pemikiran bagi para filosofis serta para teolog hari ini. Dimensi Alquran
lainya lagi yang belum dikenal ialah dimensi manusiawinya, yang mengandung
persoalan historis, sosiologis, dan psikologis. Dimensi ini belum banyak
dikenal, karena sosiologi, psikologi, dan ilmu-ilmu manusia memang jauh lebih
muda dibandingkan ilmu-ilmu alam. Apalagi ilmu sejarah yang merupakan ilmu
termuda di dunia. Namun, yang dimaksudkan dengan ilmu sejarah disini tidaklah
identic dengan data historis ataupun buku-buku sejarah yang tergolong dalam
buku-buku tertua yang pernah ada.[12]
Uraian tersebut
mengajak kita memahami islam secara komprehensif dengan berpedoman kepada
semangat dan isi ajaran Alquran yang diketahui mengandung banyak aspek. Berbagai
aspek yang ada dalam Alquran jika dipelajari secara keseluruhannya akan
menghasilkan pemahaman Islam yang menyeluruh.[13]
Ali Syariati lebih
lanjut mengatakan, ada berbagai cara memahami Islam. Salah satu cara ialah
dengan mengenal Allah dan membandingkan-Nya dengan sesembahan agama-agama lain.[14] Cara
lainya ialah dengan mempelajari kitab Alquran dan membandingkannya dengan
kitab-kitab samawi (atau kitab-kitab yang dikatakan sebagai samawi) lainya.
Tetapi ada lagi cara lain, yaitu dengan mempelajari kepribadian rasul islam dan
membandingkanya dengan tokoh-tokoh besar pembaruan yang pernah hidup dalam
sejarah. Akhirnya, ada satu cara lagi, ialah dengan mempelajari tokoh-tokoh
islam terkemuka dan membandingkanya dengan tokoh-tokoh utama agama maupun
aliran-aliran pemikiran lain. Seluruh cara yang ditawarkan Ali syariati itu
pada intinya adalah metode perbandingan. Dapat dimaklumi, bahwa melalui
perbandingan dapat diketahui kelebihan dan kekurangan yang terdapat di antara
berbagai yang dibandingkan itu. Namun, sebagaimana diketahui bahwa secara akademis
suatu perbandingan memerlukan persyaratan tertentu. Perbandingan menghendaki
objektivitas, tidak ada pemihakan, blank mind, tidak ada prakonsepsi, dan
semacamnya. Hal ini biasanya sulit dilakukan oleh seseorang yang menyakini
kebenaran suatu agama. Dalam dirinya masih terdapat pemihakan pada agama yang
dianutnya. Pendekatan komparasi dalam memahami agama kelihatanya baru akan
efektif apabila dilakukan oleh orang yang baru mau beragama.[15]
Selain menggunakan
pendekatan komparasi, Ali Syari’ati juga menawarkan cara memahami Islam memalui
pendekatan aliran. Dalam hubungan ini, ia mengatakan bahwa tugas intelektual
hari ini ialah mempelajari dan memahami Islam sebagai aliran pemikiran yang
membangkitkan kehidupan manusia, perseorangan maupun masyarakat, dan bahwa
sebagai intelektual dia memikul amanah demi masa depan umat manusia yang lebih
baik. Dia harus menyadari tugas ini sebagai tugas pribadi dan apa pun bidang
studinya dia harus senantiasa menumbuhkan pemahaman yang segar tentang islam
dan tentang tokoh-tokoh besarnyam, sesuai dengan bidangnya masing-masing. [16]
Karena islam
mempunyai berbagai dimensi dan aspek, maka setiap orang dapat menemukan sudut
pandangan yang paling tepat sesuai dengan bidangnya. Dengan kata lain, Syariati
mengajak kepada seluruh intelektual Muslim denagn disiplin ilmu yang dimilkinya
masing-masing agar digunakan untuk memahami ajaran Islam dengan berpedoman pada
Alquran. Para sosiolog, sebagaimana halnya Ali Syariati sendiri, sejarawan,
budayawan, sastrawan dan sebagainya dapat menggunakan keahlianya untuk memahami
ajaran Islam yang bersumber pada Alquran dan Al-Sunnah.[17]
Selanjutnya, terdapat
pula metode memahami Islam yang dikemukakan Nasruddin Razak. Sebagaimana halnya
Ali Syariati, Nasruddin Razak juga menawarkan metode pemahaman Islam secara
menyeluruh. Menurutnya bahwa memahami Islam secara menyeluruh adalah penting
walaupun tidak secara detail. Begitulah cara paling minimal untuk memahami
agama paling besar sekarang ini agar menjadi pemeluk agama yang mantap dan
untuk menumbuuhkan sikap hormat bagi pemeluk agama lainnya. Cara tersebut juga
ditempuh dalam upaya menghindari kesalahpahaman yang dapat menimbulkan sikap
dan pola hidup beragama
yang salah pula. Untuk memahami Islam secara benar ini, Nasruddin Razak
mengajukan empat cara.[18]
Pertama,Islam harus dipelajari dari sumbernya yang asli, yaitu
Alquran dan Alsunnah Rasulullah. Kekeliruan memahami Islam, karena orang hanya
mengenalnya dari sebagian ulama dan pemeluknya yang telah jauh dari bimbingan
Alquran dan Alsunnah, atau melalui pengenalan dari sumber kitab-kitab Fiqh dan
tasawuf yang semangatnya sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
Mempelajari Islam dengan cara demikian akan menjadikan orang tersebut sebagai
pemeluk Islam yang sinkretisme, hidup penuh bid’ah
dan khurafat, yakni telah
tercampur dengan hal-hal yang tidak Islami, jauh dari ajaran Islam yang murni.[19]
Kedua, Islam harus dipelajari secara integral, tidak dengan
cara parsial, artinya ia dipelajari secara menyeluruh sebagai satu kesatuan
yang bulat tidak secara sebagian saja. Memahami Islam secara parsial akan
membahayakan, menimbulkan skeptic, bimbang dan penuh keraguan.[20]
Ketiga,Islam perlu dipelajari dari kepustakaan yang ditulis
oleh para ulama besar, kaum zu’ama dan sarjana-sarjan islam, karena pada
umumnya mereka memiliki pemahaman Islam yang baik, yaitu pemahaman yang lahir
dari perpaduan ilmu yang dalam terhadap Alquran dan Sunnah Rasulullah dengan
pengalaman yang indah dari praktik ibadah yang dilakukan setiap hari. [21]
Berkaitan dengan cara
ketiga ini timbul permasalahan di sekitar mempelajari islam dari literature
yang ditulis para orientalis. Mempelajari Islam dadri para orientalis tetap
bermanfaat asalkan disertai ketelitian dan penuh kehati-hatian. Hal ini
disebabkan karena mereka jelas bukan orang Islam. Bagi mereka Islam hanya
sebagai sebuah ilmu, bukan untuk dihayati dan diamalkan. Selain itu, tidak
semua orientalis jujur dan objektif dalam memahami Islam, dan tidak pula semua
orientalis bersikap benci dan berniat buruk pada Islam. Diantara para orientalis
ada yang jujur dan ada pula yang tidak jujur dalam memandang Islam. Berkenaan
dengan ini, seseorang yang mempelajari Islam harus bersikap kritis, selektif,
dan penuh
kehati-hatian serta telah kuat dalam memahami dasar-asar ajaran Islam serta
telah terbukti ketaatannya dalam menjalankan ajaran Islam. Jika keadaan
demikian telah dipenuhi, maka yang bersangkutan boleh saja mempelajari Islam
dari kalangan orientalis sebagaimana hal ini dilakukan pemerintah melalui
program pengiriman sarjana agama Islam strata 1 dan seterusnya untuk
melanjutkan studi ke beberapa Negara di Barat dan Eropa.[22]
Keempat, Islam hendaknya dipelajari dari ketentuan normatif
teologis yang ada dalam Alquran, baru kemudian dihubungkan dengan kenyataan
historis, empiris, dan sosiologis yang ada di masyarakat. Dengan cara demikian
dapat diketahui tingkat kesesuaian atau kesenjangan antara Islam yang berada
pada dataran normative teologis, sosiologis, dan empiris. Kesalahan sementara
orang mempelajari kenyatataan umat islam, bukan agama islam yang dipelajarinya.
Sikap konservatif sebagian golongan
islam, keterbelakangan di bidang pendidikan, keawaman, kebodohan,
disentegrasi dan kemiskinan masyarakat islam itulah yang dinilai sebagai
islamnya sendiri. Mengambil kwsimpulan citra islam berdasarkan sampel yang
tidak valid dan bahkan tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Untuk mencitrakan
islam misalnya, mengapa tidak pula menyertakan sampel dari kalangan islam yang
maju, berpendidikan tinggi, penuh kedamaian, memiliki kekayaan, dan sebagainya.[23]
Kenyataan empiris,
historis, dan sosiologis tentang islam yang ada di masyarakat merupakan upaya
atau bentuk pendekatan yang dilakukan manusia dalam mengamalkan islam, namun
islam dengan citranya yang ideal terdapat dalam al-qur’an dan as-sunnah dengan
karakteristiknya sebagaimana dikemukakan
pada uraian bab terdahulu buku ini.[24]
Bagaimanapun juga,
kajian yang bersifat empiris, historis, dan sosiologis tentang islam tetap
diperlukan, karena tanpa kajian semacam ini kita tidak akan pernah tau secara
pasti, apakah ajaran islam diperintahkan untuk diamalkan oleh Allah dan
Rasul-Nya sudah benar-benar diamalkan atau belum.[25]
Memahami islam dengan
cara keempat sebagaimana disebutkan di atas, akhir-akhir ini sangat diperlukan
dalam upaya menunjukan peran social dan kemanusiaan dari ajaran islam itu
sendiri. Namun, pendekatan yang bersifat ilmiah akademis ini saja tidak cukup.
Dalam hubungan ini
mukti ali mengatakan bahwa selama ini pendekatan terhadap agama islam masih
sangat pincang. Ahli-ahli ilmu pengetahuan, termasuk dalam hal ini para
orientalis mendekati islam dengan metode ilmiah saja. Akibatnya, penelitiannya
itu menarik tetapi sebenarnya mereka tidak mengerti secara utuh.[26]
Yang mereka ketahui hanya eksternalitas dari
islamsaja. Sebaliknya para ulama kita sudah terbiasa memahami islam dengan cara
doktriner dan dogmatis, yang sama sekali tidak dihubungkan dengan
kenyataan-kenyataan yang hidup di dalam masyarakat. Akibatnya, penafsirannya
itu tidak dapat diterapkan dalam masyarakat. Inilah sebabnya orang lalu
mempunyai kwsan bahwa islam sudah ketinggalan zaman dan tidak sejalan dengan
pembangunan berkenaan dengan ini, Mukti Ali mengatakan bahwa pendekatan ilmiah-cum
doktriner harus kita pergunakan, pendekatan scientific-cum suigeneris harus kita terapkan. Inilah yang saya
(Mukti Ali) maksud dengan metode sintesis.[27]
Pendekatan seperti ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pendekatan yang
ditawarkan Amin Abdullah sebagaimana telah diuraikan diatas, yaitu bahwa untuk
melihat islam sebagai sebuah disiplin ilmu (Islamic
Studies) dapat digunakan pendekatan ilmiah yang ciri-cirinya rasional,
empiris, objektif dan seterusnya. Sedangkan untuk melihat islam sebagai agama
dapat digunakan pendekatan normative teologis. Mukti Ali melihat bahwa untuk
melihat islam sebagai sebuah agama dapat digunakan metode doktriner dan untuk melihat islam
sebagai sebuah disiplin ilmu, dapat digunakan metode ilmiah yang ciri-cirinya
sebagaimana disebutkan diatas, dan itulah yang selanjutnya disebut dengan
pendekatan sintesis.[28]
Selain itu, Mukti Ali
juga mengajukan pendapat tentang metode memahami islam sebagaimana dikemukakan
Ali Syari’ati yang menekankan pentingnya melihat islam secara menyeluruh
sebagaiamana disebutkan di atas. [29] Dalam
hubungan ini, Mukti Ali mengatakan, apabila kita melihat islam hanya dari satu
segi saja, maka kita hanya melihat satu dimensi dari fenomena-fenomena yang multifaset, sekalipun
kita melihatnya itu betul. Islam menurutnya harus dipahami secara bulat, yaitu
pemahaman islam yang dilakukan secara komprehensif.[30]
Hal ini perlu dilakukan untuk melengkapi
metode pemahaman islam yang sudah terlanjur dipraktikkan di masyarakat, yaitu
bahwa metode mempelajari islam yang berlaku di Indonesia ini ilmu dibagi-bagi
menjadi ilmutawhid, fiqih, akhlak, tasawuf, tarikh, tafsir, hadist, dan
sebagainya. Tiap cabang ilmu itu
diajarkan sesuai dengan tingkatan orang yang diajar, lebih tinggi tingkatannya
lebih luas uraiannya.[31]
Metode lain untuk
memahami Islam yang diajukan Mukti Ali adalah metode typology. Metode ini oleh
banyak ahli sosiologi dianggap objektif berisi klasifikasi topic dan tema
sesuai tipenya, lalu dibandingkan dengan topic dan tema yang mempunyai tipe
yang sama. Pendekatan ini digunakan oleh sarjana barat untuk memahami ilmu-ilmu
manusia. Dan menurut Mukti Ali metode ini juga dapat digunakan untuk memahami
agama Islam.[32]
Dalam hal Agama Islam , juga agama-agama lain, kita dapat mengidentifikasi lima
aspek atau ciri dari agama itu, lalu dibandingkan dengan aspek dan ciri yang
sama dari agama lain, yaitu 1) aspek ketuhanan 2) aspek kenabian 3) aspek kitab
suci dan 4) aspek keadaan sewaktu munculnya nabi dan orang-orang yang
didakwahinya serta individu-individu terpilih yang dihasilkan oleh agama itu. [33]
Agar kita dapat
memahami dengan betul ciri-ciri Tuhan, kita harus kembali kepada Al-Quran dan
hadist nabi serta keterangan yang diberikan para pemikir muslim dalam bidang
itu. Hal ini dilakukan karena sifat-sifat Tuhan dengan jelas telah diterangkan
dalam Al-Quran oleh nabi Muhammad, dan para ulama pun telah membahas dengan
teliti masalah ini. Lalu kita bandingkan konsep tentang Allah dengan Tuhan
agama-agama lain, seperti Ahuramazda, Yahweh dan sebagainya.[34]
Selanjutnya, untuk
memahami Islam dapat dilakukan dengan memahami kitab sucinya. Hal ini telah
dijelaskan pada bagian terdahulu diatas. Metode berikutnya dalam memahami Islam
dengan mempelajari pribadi Muhammad bin Abdullah. Mengetahui dan memahami nabi
Muhammad Saw.
Sangat penting bagi
ahli sejarah, karena tidk ada seorang pun dalam sejarah umat manusia yang
mempunyai peranan yang begitu besar seperti nabi Muhammad. [35]
Metode selanjutnya
untuk memahami Islam adalah dengan meneliti suasana dan situasi dimana Nabi
Muhammad bangkit. Misalnya, apakah ia bangkit sebagai nabi tanpa
tindakan-tindakan pendahuluan. Apakah ada orang yang mengharap-harap diangkat
menjadi nabi. Apabila ia tahu bagaimana jadinya tugasnya itu. Atau apakah
misinya itu merupakan suatu beban yang mendesak dan berat terhadap jiwanya. [36]
Dari uaraian tersebut
kita lihat bahwa metode yang dapat digunakan untuk memahami islam secara garis
besar ada dua macam. [37]Pertama, metode komparasi,yaitu suatu cara memahami agama dengan
membandingkan seluruh aspek yang ada dalam agama islam tersebut dengan agama
lainya, dengan cara demikian akan dihasilkan pemahaman Islam yang objektif dan
utuh. [38]Kedua,metode
sintesis, suatu cara memahami Islam
yang memadukan antara metode ilmiah dengan segala cirinya yang rasional,
objektif, kritis, dan seterusnya dengan metode teologis formatif. Metode ilmiah
digunakan untuk memahami Islam yang tampak dalam kenyataan historis, empiris,
dan sosiologis, sedangkan metode teologis normative digunakan untuk memahami
Islam yang terkandung dalam kitab suci. Melalui metode teologis normative ini
seseorang memulainya dari menyakini Islam sebagai agama yang mutlak benar. Hal
ini didasarkan pada alasan, karena agama berasal dari Tuhan dan apa yang
berasal dari Tuhan mutlak benar, maka agamapun mutlak benar. [39]
Setelah itu
dilanjutkan dengan melihat agama sebagaimana norma ajaran yang berkaitan dengan
berbagai aspek kehidupan manusia yang secara keseluruhan diyakini amat ideal.
Melalui metode teologis normative yang tergolong tua usianya ini dapat
dihasilkan keyakinan dan kecintaan yang kuat, kokoh, dan militan pada Islam,
sedangkan dengan metode ilmiah yang dinilai sebagai tergolong muda usianya ini
dapat dihasilkan kemampuan menerapkan Islam yang diyakini dan dicintainya itu
dalam kenyataan hidup serta memberi jawaban terhadap berbagai permasalahan yang
dihadapi manusia. [40]
Metode-metode yang
digunakan untuk memahami Islam itu suatu saat mungkin dipandang tidak cukup
lagi, sehingga diperlukan pendekatan baru yang harus terus digali oleh para
pembaru.[41]
Perjalanan sejarah
Islam sampai kini telah melampaui kurun waktu lima belas abad dan dipeluk oelh
dua puluh satu milyar orang serta berada di mana-mana. Pemikiran Islam dapat
diibaratkan sebagai sungai yang besar dan panjang. [42]Lumrah
jika sumber mata airnya yang semula bening dan jernih serta mengalir pada alur
sempit dan deras dalam perjalanannya menuju muara kian melebar, berliku-liku
dan bercabang-cabang, airnya kian pekat karena mengangkut pula lumpur dan
sampah.[43]
Geraknya pun menjadi lamban. Untuk membuat airnya kembali bersih dan mengalir
deras, Allah menciptakan riam-riam disepanjang sungai itu. Riam-riam ini
berfungsi juga sebagai sumber energy. Riam-riam inilah yang dimisalkan sebagai mujaddid (pembaru) yang bukan saja
berperan membersihkan kembali pemahaman Islam, tetapi juga menyuntikkan
semangat dan kekuatan baru yang berangkat dari spirit ajaran Islam. [44]
Setiap pemikiran yang
kemudian didukung oleh sekelompok orang, idenya muncul dan nafasnya dihembuskan
oleh semangat tokoh pemikir. Setiap pemikir ketika melontarkan gagasan atau
buah pikiranya tidak terlepas dari situasi lingkungan yang dihadapi, pandangan
hidup dan sikap politiknya.[45]
Menurut sosiologi, pemikiran teologi dan filosofi selalu terkait dengan politik
atau kemasyarakatan, demikian pula sebaliknya. Jika teori benar, kajian
pemikiran islam hanya dibagi ke dalam bidang teologi(kalam), sufisme, dan
filsafat saja dengan meninggalkan bidang ketatanegaraan (politik) dan hukum,
menjadi sebuah kajian yang tidak lengkap.[46]
Dengan demikian untuk menghasilkan pemahaman Islam yang utuh dan menyeluruh
perlu menatapnya dari berbagai situasi yang mengitari di sekitar kelahiran
Islam tersebut serta tokoh-tokoh yang mengembangkannya. [47]
Pencampuradukan
antara islam sebagai agama dan Islam sebagai kerangka historis bagi
pengembangan budaya dan peradaban telah dilanggengkan dan pernah berkembang
lebih kompleks hingga hari ini. Namun demikian, masyarakat Islam harus dikaji
dalam dan untuk dirinya sendiri, sebagaimana halnya masyarakat prancis, jerman,
amerika serikat atau masyarakat polandia.[48]
Dalam kaitan ini dua buah contoh barangkali cukup untuk dikemukakan di sini. Di
satu pihak kita dapat merenungkan penafsiran G.E.von Grunebaum tentang Islam
sebagai budaya dan peradaban, suatu pendapat yang memaksanya memahami Islam
melalui antropologi budaya yang berorientasi historis. Di pihak lain, orang
dapat merenungkan penafsiran Wilfred Cantwell Smith tentang Islam sebagai
keyakinan yang menyebabkan memahami Islam melalui model hubungan antara
keyakinan komunal atau personal dan tradisi keagamaan yang ada.
Definisi-definisi
tersebut, menurut Wardenburg, tidak dapat membantu kecuali mempengaruhi kajian
Islam secara fundamental, baik pada peringkat metodologis maupun pada peringkat
penelitiannya.[49]
Hal ini menunjukkan kebenaran teori di atas, bahwa untuk mempelajari Islam
metode ilmiah saja tidaklah cukup. Metode dan pendekatan dalam memahami Islam
yang demikian itu masih perlu dilengkapi dengan metode yang bersifat teologis
dan normative sebagaimana disebutkan di atas. Islam yang didasarkan pada metode
tersebut adalah suatu ideologi yang universal lagi realistis.[50]
Didalam Islam seluruh kebutuhan manusia, baik yang bersifat keduniaan maupun
keakhiratan, fisik maupun spiritual, individual maupu social, rasional maupun emosional telah
dijadikanya pusat perhatian.[51]
Dalam kaitanini, Islam tampak sebagai ajaran yang di samping berkenaan dengan
keyakinan dan moral juga berkenaan dengan masalah peraturan yang berkaitan
dengan kehidupan. [52]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian tersebut kita melihat bahwa metode yang dapat
digunakan untuk memahami Islam secara garis besar ada dua macam. Pertama,
metode komparasi, yaitu suatu cara memahami agama dengan membandingkan seluruh
aspek yang ada dalam agama Islam tersebut dengan agama lainya, dengan cara
demikian akan dihasilkan pemahaman islam yang objektif dan utuh. Kedua, metode
sintesis, yaitu suatu cara memahami islam yang memadukan antara metode ilmiah
dengan segala cirinya yang rasional, objektif, kritis dan seterusnya dengan
metode teologis normative. Metode ilmiah digunakan untuk memahami islam yang
tampak dalam kebanyakan historis, empiris, dan sosioogis, sedangkan metode
teologis normative digunakan untuk memahami islam yang terkandung dalam kitab suci.
Melalui metode teologis normative ini seseorang memulainya dari meyakini islam
sebagai agama yang mutlak benar. Hal ini didasarkan pada alasan, karena agama
berasal dari tuhan dan apa yang berasal dari tuhan mutlak benar, maka agama pun
mutlak benar. Setelah itu dilanjutkan dengan melihat agama sebagaimana norma
ajaran yang berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan manusia yangs ecara
keseluruhan diyakini amat ideal. Melalui metode teologis normative yang
tergolong tua usianya ini dapat dihasilkan keyakinan dan kecintaan yang kuat,
kokoh, dan militan pada islam, sedangkan dengan metode ilmiah yang dinilai
sebagai tergolong muda usianya ini dapat dihasilkan kemampuan menerapkan islam
yang diyakini dan dicintai itu dalam kenyataan hidup serta memberi jawaban
terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi manusia.
Metode-metode yang
digunakan untuk memahami islam itu suatu saat mungkin dipandang tidak cukup
lagi sehingga diperlukan pendekatan baru yang terus digali oleh para pembaru.
B. Saran
Penulis
menyadari bahwa makalah ini terdapat banyak sekali kekurangan dan jauh dari
kata sempurna. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran mengenai
pembahasan makalah dalam kesimpulan diatas.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
1.
Nata,
Abuddin. 2009. Metodologi Studi Islam. Jakarta
: Rajawali Pers
2.
Taufik,
Akhmad dkk. 2004. Metodologi Studi Islam.
Malang : Bayumedia Publishing
3.
Nata,
Abuddin. 2000. Metodologi Studi Islam.
Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
4.
Sahrodi,
Jamali. 2008. Metodologi Studi Islam.
Bndung : CV Pustaka Setia
5.
Nata,
Abuddin. 2014. Metodologi Studi Islam. Jakarta
: Rajawali Pers
Internet :
1.
https://hurie85.wordpress.com/2014/07/16/makalah-msi-metodologi-memahami-islam/ (diambil pada hari
Rabu, 18 September 2019 pada pukul 20.43 WITA)
2.
.https://knowledgeisfreee.blogspot.com/2016/10/makalah-metodologi-pemahaman-islam.html (diambil pada hari
Rabu, 18 September 2019 pada pukul 21.27 WITA)
[1]
Nata,
Abuddin. 2009. Metodologi Studi Islam. Jakarta
: Rajawali Pers
[2] Nata, Abuddin. 2009. Metodologi
Studi Islam. Jakarta : Rajawali Pers
[3]
Taufik,
Akhmad dkk. 2004. Metodologi Studi Islam.
Malang : Bayumedia Publishing
[5]
Taufik,
Akhmad dkk. 2004. Metodologi Studi Islam.
Malang : Bayumedia Publishing
[25] Sahrodi, Jamali. 2008. Metodologi Studi Islam. Bndung : CV Pustaka Setia
[26]https://hurie85.wordpress.com/2014/07/16/makalah-msi-metodologi-memahami-islam/(diambil pada hari Rabu, 18 September
2019 pada pukul 20.43 WITA)
[29]https://hurie85.wordpress.com/2014/07/16/makalah-msi-metodologi-memahami-islam/(diambil pada hari Rabu, 18 September
2019 pada pukul 20.43 WITA)
[30].https://knowledgeisfreee.blogspot.com/2016/10/makalah-metodologi-pemahaman-islam.html (diambil
pada hari Rabu, 18 September 2019 pada pukul 21.27 WITA)
[33]https://hurie85.wordpress.com/2014/07/16/makalah-msi-metodologi-memahami-islam/(diambil pada hari Rabu, 18 September
2019 pada pukul 20.43 WITA)
[34].https://knowledgeisfreee.blogspot.com/2016/10/makalah-metodologi-pemahaman-islam.html (diambil
pada hari Rabu, 18 September 2019 pada pukul 21.27 WITA)
[37]
Nata, Abuddin. 2014. Metodologi Studi Islam. Jakarta : Rajawali Pers
[38]https://hurie85.wordpress.com/2014/07/16/makalah-msi-metodologi-memahami-islam/(diambil pada hari Rabu, 18 September
2019 pada pukul 20.43 WITA)
[39].https://knowledgeisfreee.blogspot.com/2016/10/makalah-metodologi-pemahaman-islam.html (diambil
pada hari Rabu, 18 September 2019 pada pukul 21.27 WITA)
[42]https://hurie85.wordpress.com/2014/07/16/makalah-msi-metodologi-memahami-islam/(diambil pada hari Rabu, 18 September
2019 pada pukul 20.43 WITA)
[43].https://knowledgeisfreee.blogspot.com/2016/10/makalah-metodologi-pemahaman-islam.html (diambil
pada hari Rabu, 18 September 2019 pada pukul 21.27 WITA)
[47]https://hurie85.wordpress.com/2014/07/16/makalah-msi-metodologi-memahami-islam/(diambil pada hari Rabu, 18 September
2019 pada pukul 20.43 WITA)
[48].https://knowledgeisfreee.blogspot.com/2016/10/makalah-metodologi-pemahaman-islam.html (diambil
pada hari Rabu, 18 September 2019 pada pukul 21.27 WITA)
[51]https://hurie85.wordpress.com/2014/07/16/makalah-msi-metodologi-memahami-islam/(diambil pada hari Rabu, 18 September
2019 pada pukul 20.43 WITA)
[52].https://knowledgeisfreee.blogspot.com/2016/10/makalah-metodologi-pemahaman-islam.html (diambil
pada hari Rabu, 18 September 2019 pada pukul 21.27 WITA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar